Fiqh tawaqquf:
Kehidupan modern menuntut kita untuk terus bergerak dan melakukan
percepatan. Pepatah arab mengatakan : Barang siapa yang tak mampu mengimbangi
kecepatan zaman, pasti ketinggalan. Pepatah ini ada benarnya, karena
bersegera dalam pelaksanaan kebaikan dan ketaatan adalah anjuran syariat bahkan
perintah alquran, namun demikian kita tidak boleh terjebak dengan kemilau jargon
dan ungkapan, dengan melupakan sisi lain dari kewajiban, yaitu : mengetahui
kapan kita harus perlahan dan berhati-hati bahkan berhenti.
Karena, terkadang ketergesaan menyebabkan ketergelinciran, dan bisa jadi kita
terus melaju pada arah yang keliru. Hal Ini terjadi, karena gerak dan reaksi
cepat kita belum tentu dalam kebaikan, tapi lebih merupakan respon atas gerak
roda kehidupan yang begitu cepat, atau reaksi spontan atas kondisi dan situsi
yang meliputi.
Dulu ada ungkapan hikmah mengingatkan : bahwa kerap kali kita terlalu cepat
mengejar kehidupan, sehingga tanpa sadar kita telah meninggalkannya jauh di
belakang. Ada satu kisah menarik yang meggambarkan kondisi di atas. Tentang
seorang pengamat yang memantau aktivitas nelayan kecil, dalam waktu singkat si
nelayan mampu mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak, lalu dia kemasi
jaringnya dan bersiap pulang meninggalkan lautan.
Sang Pengamat bertanya :
kenapa terburu-buru pulang ?
Nelayan :
Saya ingin menikmati hasil tangkapan dengan
keluarga.
Pengamat :
kenapa tidak meneruskan pengkapan hingga mendapat
ikan lebih
banyak lagi ?
Nelayan : Untuk apa saya menangkap sebanyak itu ?
Pengamat : Untuk mendapatkan harta yang
banyak, dan dalam 10 tahun ke depan, engkau dapat membeli perahu lebih besar,
lengkap dengan alat tangkap yang lebih canggih sehingga bisa menangkap ikan
lebih banyak dan lebih besar, 10 tahun berikutnya engkau dapat membeli kapal penangkap
ikan yang lebih besar daya jangkau dan jelajahnya, 10 tahun kemudian anda bisa
pensiun menikmati keberhasilan dan seluruh jerih payah ini dengan kelurga.
Nelayan : Sekarang, saya dan keluarga bisa
menikmati apa yang saya hasilkan, kenapa harus menunggu 30 tahun kemudian ?
Pandangan hidup sederhana seperti yang
dimiliki nelayan ini, hakikatnya adalah kemampuan mengetahui kapan harus berhenti
mengikuti hayalan dan angan-angan, yang sering menghalangi kita menikmati detik
demi detik realitas kehidupan dan tahapannya.
Falsafah sederhana ini, memungkinkan untuk diterapkan di lapangan dakwah,
karena merupakan pengembangan pemahaman dari keutamaan ibadah sebagaimana
dipaparkan oleh Imam Ibn Qayyim al Jauziyyah, bahwa afdhalul ibadah (ibadah
yang paling utama) adalah yang selaras dengan tuntutan zaman. Dan pengabdi yang
haqiqi adalah yang tidak terikat dengan simbol dan formalitas materi;
makanannya yang terhidang, pakaiannya yang tersedia, mihrabnya lokasi di mana
dia tinggal dan beraktivitas, yang terpenting dari itu semua adalah keridhaan
Rabbnya.
Karenanya, membatasi diri dengan satu jenis ketaatan yang selaras dengan
kecenderungan pribadi padahal tuntutan waktu ada pada jenis ketaatan lainnya,
begitu juga meneruskan program yang telah menjadi tradisi organisasi di saat
situasi dan kondisi telah berganti, merupakan gambaran ketidak pahaman atas
fiqul waqfi wal ibtida’ yang dapat menyebabkan kegagalan dalam memahami kondisi
di mana dan kapan kita harus berhenti,
serta kapan dan dari mana kita harus memulai.
Abu Hatim mengatakan orang cerdas adalah yang mampu menghantarkan dirinya
pada targetnya sesuai dengan tahapannya, dan tidak melebihinya, karena tidak
semua “kelebihan” merupakan keutamaan.
Wassalam
0 komentar:
Posting Komentar